Amicus Curiae: Peran dan Fungsi dalam Sistem Peradilan Indonesia

Pada tanggal 16 April 2024, Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Indonesia melalui perwakilan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, mengajukan diri sebagai amicus curiae di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini terkait dengan penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 di MK. Dalam dokumen amicus curiae yang diserahkan, terdapat tulisan tangan Megawati Soekarnoputri yang menyoroti perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam emansipasi perempuan sebagai bagian dari demokrasi untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan. Selanjutnya, penyerahan dokumen tersebut pun diterima oleh perwakilan MK.

Selain Megawati, MK juga menerima pengajuan amicus curiae dari empat organisasi kemahasiswaan serta dukungan dari Forum Advokat Muda Indonesia (FAMI). Keempat organisasi kemahasiswaan tersebut antara lain Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, BEM Universitas Diponegoro, serta BEM Universitas Airlangga. Mereka berharap, pendapat mereka dapat membantu MK dalam menghasilkan putusan yang bermakna bagi demokrasi dan masa depan Indonesia. Selain itu, FAMI juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada delapan hakim konstitusi MK, antara lain menekankan pada independensi, keadilan, dan ketidakberpihakan dalam mengambil keputusan terkait sengketa hasil pemilihan presiden 2024. Pengajuan amicus curiae dan dukungan kepada hakim konstitusi ini disambut baik oleh MK, yang akan mempertimbangkannya dalam putusan yang akan diambil pada tanggal 22 April mendatang terkait dua perkara sengketa PHPU Presiden 2024 yang sedang ditangani oleh MK.

Dalam sistem peradilan Indonesia, keberadaan amicus curiae masih tergolong ambigu. Pasal 184 ayat (1) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur alat bukti yang diterima dalam pembuktian, yang termasuk keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Amicus curiae tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga kategori tersebut walaupun memiliki konsep yang sama dengan keterangan ahli. Terdapat dua alasan utama. Pertama, amicus curiae tidak perlu memiliki pengalaman langsung dengan kasus pidana, jadi dia tidak dapat dianggap sebagai saksi ahli. Pasal 1 angka (26) KUHAP menyatakan bahwa seorang saksi didefinisikan sebagai individu yang memberikan keterangan berdasarkan pengalaman langsung dalam suatu kasus pidana. Kedua, karena amicus Curiae dapat berasal dari komunitas apa pun, dia tidak dapat dianggap sebagai saksi ahli. Lalu bagaimana peran amicus curiae dalam sistem peradilan Indonesia?

Sebelum melangkah ke pembahasan yang lebih dalam, alangkah baiknya untuk mengetahui apa itu amicus curiae dalam sistem peradilan Indonesia serta peran yang dimiliki oleh amicus curiae. Istilah “sahabat pengadilan” atau amicus curiae berasal dari bahasa Latin dan pertama kali muncul dalam praktik hukum pada tahun-tahun awal sistem hukum Romawi. Penggunaan istilah amicus curiae kemudian menyebar ke negara yang menganut tradisi common law. Sebagai perseorangan atau organisasi profesi, amicus curiae tidak berhak bertindak sebagai pihak dalam suatu perkara hukum tertentu, melainkan mempunyai pertimbangan atau kesadaran terhadap perkara yang bersangkutan. Mereka memberikan informasi yang akurat, baik secara jelas maupun ringkas, untuk membantu pemohon dalam memahami dan menyelesaikan kasus tersebut. Pada kasus-kasus tertentu di Indonesia, pendapat amicus curiae menjadi bahan yang dipertimbangkan oleh hakim. Secara umum, amicus curiae adalah konsep yang memungkinkan pihak ketiga yang memiliki kepentingan terhadap suatu perkara di pengadilan. Akan tetapi, tidak secara langsung terlibat dalamnya, untuk memberikan pendapat di pengadilan. Pendapat ini hanya menjadi faktor pertimbangan bagi pengadilan.

Di Indonesia, hakim memandang amicus curiae hanya sebagai sudut pandang tambahan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan, tetapi tidak memiliki wewenang untuk melakukan intervensi karena amicus curiae tidak terlibat sebagai pihak yang berperkara. Di beberapa negara lain seperti Perancis dan Belanda yang telah mengakui dan memberikan peran yang jelas pada amicus curiae, pendapat dari amicus curiae selalu dipertimbangkan dengan serius dalam kasus-kasus yang  berfokus pada kepentingan sosial karena berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai pihak yang tidak memiliki kepentingan langsung dalam kasus hukum yang sedang dipertimbangkan, amicus curiae dapat meminta izin untuk ikut serta dalam proses peradilan atau diberi izin oleh hakim untuk memberikan pandangan atau informasi terkait dengan kasus yang sedang dibahas. Mereka biasanya berupa individu, kelompok, atau organisasi yang memiliki minat dan kepentingan terhadap hasil keputusan pengadilan yang dapat mempengaruhi isu hukum yang lebih luas atau kepentingan publik. Adapun kriteria untuk menjadi amicus curiae meliputi ketidakterlibatan langsung dengan para pihak dalam kasus dan memiliki pengetahuan atau keahlian khusus dalam masalah hukum, fakta hukum, atau isu terkait kasus tersebut. Tujuan utama amicus curiae adalah untuk membantu pengadilan dalam memahami berbagai sudut pandang dan implikasi dari keputusan yang akan diambil, meskipun hakim tidak diwajibkan untuk mempertimbangkan pandangan atau informasi yang amicus curiae berikan dalam proses pengambilan keputusan. Amicus curiae dapat memberikan pendapat hukum, kesaksian, atau memberikan kontribusi melalui karya ilmiah yang relevan dengan kasus yang sedang dibahas. Dalam banyak kasus, kehadiran amicus curiae bertujuan untuk mewakili atau mendukung kepentingan publik yang mungkin tidak secara langsung diwakili oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan.

Seperti yang dapat kita lihat, amicus curiae merupakan salah satu bentuk partisipasi yang penting dalam proses peradilan. Hal ini karena keberadaan amicus curiae bertujuan untuk memberikan pandangan tambahan dari masyarakat umum terhadap kasus yang sedang dipertimbangkan di pengadilan. Eksistensinya tidak hanya sebatas memberikan pandangan, tetapi juga memiliki beberapa tujuan yang sangat penting. Amicus curiae juga bertujuan untuk mendorong partisipasi publik dalam proses peradilan. Dengan melibatkan masyarakat dalam memberikan pendapat atau pandangan terhadap kasus yang sedang dipertimbangkan, proses peradilan menjadi lebih terbuka,transparan, dan memungkinkan masyarakat untuk merasa lebih terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi masyarakat secara langsung. 

Walaupun memiliki fungsi yang penting, pendapat yang termuat dalam amicus curiae tidak termasuk  alat bukti yang sah dalam persidangan.  Sebagai konsekuensi, pendapat amicus curiae hanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara. Dalam hukum acara peradilan pidana di Indonesia yang diatur oleh KUHAP, pembuktian kesalahan terdakwa harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, dan hakim harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Pasal 184 ayat (1) yang termuat dalam KUHAP menetapkan beberapa jenis barang bukti yang dianggap sah, antara lain keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut amicus curiae tidak termasuk dalam alat bukti yang diatur secara sah menurut ketentuan tersebut. Namun, dalam praktiknya pendapat amicus curiae telah dilakukan dalam beberapa perkara. Amicus curiae dapat dilakukan oleh siapa pun yang mendapatkan izin dari hakim dan diperbolehkan untuk menyampaikan pendapatnya dalam persidangan.

Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, keberadaan amicus curiae dapat didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009 (UU Kekuasaan Kehakiman) yang berbunyi, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Selain itu, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa tujuan ketentuan tersebut adalah agar putusan yang diambil oleh hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan yang dianut oleh masyarakat. 

Dalam sistem peradilan Indonesia, amicus curiae mencerminkan semangat untuk mendukung hakim dalam menjalankan tugasnya dengan adil dan bijaksana dalam memutuskan perkara. Sementara itu, UU Kekuasaan Kehakiman juga mendorong hakim dan hakim konstitusi untuk mengakses berbagai informasi dan pendapat dari berbagai pihak, termasuk yang terlibat langsung dalam perkara dan dari pihak luar, seperti melalui penelitian, konsultasi dengan ahli, atau masukan dari individu atau kelompok yang memahami isu yang diperdebatkan. Hal ini bertujuan untuk membantu hakim dalam membuat keputusan yang adil dan bijaksana. Menyangkut peran amicus curiae di MK, Peraturan MK 2/2021 tentang pengujian undang-undang memberikan landasan hukum bagi MK untuk meminta keterangan dari pihak terkait. Pihak terkait tersebut bisa berupa individu, kelompok, badan hukum, atau lembaga negara yang memiliki kepentingan terkait langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan.

Namun, terkait PHPU presiden dan wakil presiden, regulasi yang mengatur penggunaan amicus curiae belum secara spesifik diatur dalam Peraturan MK 4/2023 sebagaimana diubah dengan Peraturan MK 2/2024. Hal ini disebabkan karena dalam konteks PHPU, pihak terkait secara khusus adalah pasangan calon yang terlibat dalam permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon. Oleh karena itu, amicus curiae tidak dimasukkan sebagai alat bukti dalam PHPU. Dalam kasus PHPU sendiri, individu atau entitas yang memiliki kepentingan tetapi bukan sebagai pihak dalam perkara PHPU dan juga bukan sebagai pihak terkait, masih dapat mengajukan diri sebagai amicus curiae berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. 

Fajar Laksono, Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK, menyoroti bahwa keterlibatan amicus curiae sejatinya menjadi wujud kepedulian masyarakat terhadap perkara PHPU presiden dan wakil presiden tahun 2024. Secara khusus, partisipasi ini menunjukkan bahwa masyarakat memperhatikan proses hukum yang sedang berlangsung, terutama dalam konteks perdebatan yang signifikan seperti PHPU presiden. Terkait pengaruhnya terhadap putusan, Laksono menekankan bahwa amicus curiae tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi dalam keputusan akhir MK. Keputusan akhir tetap sepenuhnya bergantung pada keputusan dan penilaian hakim konstitusi. Hal ini menunjukkan bahwa sementara amicus curiae dapat memberikan wawasan dan sudut pandang tambahan, penentuan akhir tetap berada di tangan hakim konstitusi yang bertugas menangani perkara tersebut.

Dalam kasus pengajuan Megawati dan organisasi kemahasiswaan lainnya sebagai amicus curiae di MK terkait PHPU presiden tahun 2024, perlu ditekankan bahwa partisipasi mereka mencerminkan semangat partisipasi masyarakat dalam proses hukum. Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan, keberadaan amicus curiae didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Amicus curiae bertujuan untuk memberikan sudut pandang tambahan dan informasi kepada hakim dalam memutus perkara, meskipun pendapat mereka tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah.

Dalam PHPU tersendiri, walaupun regulasi penggunaan amicus curiae belum secara spesifik diatur, MK tidak menghalangi partisipasi mereka dan akan mempertimbangkannya dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan pentingnya peran amicus curiae dalam membantu hakim dalam memahami isu-isu yang kompleks, terutama dalam konteks PHPU yang memiliki implikasi yang luas bagi demokrasi dan masa depan Indonesia. Keberadaan Fajar Laksono sebagai juru bicara MK, yang mengakui pentingnya partisipasi amicus curiae dan menegaskan bahwa keputusan akhir tetap bergantung pada penilaian hakim konstitusi, menyoroti transparansi dan independensi proses peradilan di MK. 

Meskipun amicus curiae dapat memberikan wawasan tambahan, keputusan akhir tetap menjadi kewenangan hakim konstitusi, menegaskan prinsip supremasi hukum dan keberadaan lembaga peradilan yang independen. Secara keseluruhan, partisipasi amicus curiae dalam proses hukum di MK menunjukkan pentingnya inklusi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi nasib bangsa. Hal ini mencerminkan semangat demokrasi yang hidup dan memberikan harapan bahwa keputusan yang dihasilkan akan mencerminkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan 

Undang Undang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009. LN Tahun

2009 No. 157 TLN No. 5076. 

Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU

Nomor 8 Tahun 1981. LN Tahun 1981 No. 76 TLN No. 3209. 

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara

dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara

Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, PMK Nomor 4 Tahun 2023

Buku  

Aminah, Siti. Menjadi Sahabat Keadilan; Panduan Menyusun Amicus Brief. Ed.1.

Cet 1. Jakarta: ILRC-Hivos, 2014

Bakhri, Syaiful. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Ed. 1. Cet. 1. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2014. 

Jurnal 

Edi Praditha, Dewa Gede. “Posisi Amicus Curiae Dalam Tata Peradilan

Indonesia.” Jurnal Ilmiah Multidisiplin. Vol. 1. No. 5 (2023). Hlm. 35-39. 

Ilham Hasanuddian, Muhammad dan Amy Yayuk Sri Rahayu. “Peranan Amicus

Curiae pada Putusan Gugatan Terhadap Proses Seleksi Calon Hakim

Agung.” Jurnal Yudisial. Vol. 15. No. 1 (2022). Hlm. 9. 

Rondo, Pieter Agustinus Mikael dan Hery Firmansyah. “Pengaruh Peran Amicus

Curiae Terhadap Proses Peradilan dan Kepastian Hukum.” UNNES Law

Review. Vol. 6. No. 2 (2023). Hlm. 4463-4469. 

Sukinta, S. “Konsep dan Praktik Pelaksanaan Amicus Curiae Dalam Sistem

Peradilan Pidana Indonesia.” Administrative Law and Governance

Journal, Vol. 4. No. 1 (2021). Hlm 89-98. 

Fadil Aulia dan Muchlas Rastra Samara Muksin. “The Position of Amicus Curiae

under the Indonesian Law of Evidence.” Jurnal Media Hukum, Vol. 27,

No. 2 (2020). Hlm 217-277. 

Internet 

FHUI, Tata Negara. “Ketua PSHTN FHUI: Amicus Curiae Dinilai Tak Banyak

Pengaruhi Putusan Hakim MK,” Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

20 April 2024. Tersedia pada

https://tatanegara.ui.ac.id/ketua-pshtn-fhui-amicus-curiae-dinilai-tak-ban

ak-pengaruhi-putusan-hakim-mk/. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024.

Kartika, Mimi. “Megawati Soekarnoputri Ajukan Diri Jadi “Amicus Curiae”

MK,” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 20 Maret 2024. Tersedia

pada https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=20207&menu=2. Diakses pada tanggal 28 April 2024. 

Muliawati, Anggi. “MK: Tak Ada Aturan Amicus Curiae Dibacakan Saat Putusan

Sengketa Pilpres,” detik.com, 20 April 2024. Tersedia pada https://news.detik.com/pemilu/d-7301540/mk-tak-ada-aturan-amicus-curi

e-dibacakan-saat-putusan-sengketa-pilpres. Diakses pada tanggal 24 Juni 2024 

Rahmawati, Dwi. “Megawati Ajukan diri sebagai Amicus Curiae Sengketa Pilpres

di MK,” detik.com, 16 April 2024. Tersedia pada

https://news.detik.com/pemilu/d-7294441/megawati-ajukan-diri-sebagai-

micus-curiae-sengketa-pilpres-di-mk. Diakses pada tanggal 16 Agustus

2024.

Ramadhan, Ardito dan Ihsanuddin. “Ramai-ramai Ajukan Diri Jadi “Amicus

Curiae” Sengketa Pilpres ke MK, dari Megawati sampai Mahasiswa,”

Kompas.com, 17 April 2024. Tersedia pada

https://nasional.kompas.com/read/2024/04/17/05564461/ramai-ramai-aju

an-diri-jadi-amicus-curiae-sengketa-pilpres-ke-mk-dari?page=all. Diakses

pada tanggal 16 Agustus 2024.

RakyatPos. “Amicus Curiae Megawati Harus Jadi Perhatian,” rakyatpos.id, 17

April 2024. Tersedia pada

https://www.rakyatpos.id/2024/04/amicus-curiae-megawati-harus-jadi-pe

hatian.html. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2024.

Wilmar, Andrei. “Apa Itu Amicus Curiae? Definisi, Dasar Hukum, dan Syarat”,

Media Indonesia, 18 April 2024. Tersedia pada

https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/665627/apa-itu-amicus-cu

iae-definisi-dasar-hukum-dan-syarat. Diakses pada tanggal 24 Juni 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *